Sudah tidak asing lagi bahwa
peradaban Islam pada abad pertengahan merupakan peradaban gemilang pada saat
itu. Hal ini berbanding terbalik dengan dunia Eropa yang masih diliputi kabut
kebodohan di mana mereka masih buta ilmu pengetahuan. Kegemilangan peradaban
Islam saat itu melintasi masa dua kerajaan
besar yaitu Abbasiyah dan Umayyah.
Faktor utama kegemilangan yang
dicapai oleh dua kerajaan tersebut adalah perhatian penuh para khalifah
terhadap ilmu pengetahuan yang didukung oleh ghirah para ulama untuk
mengkaji dan menulis, sehingga terciptalah budaya membaca di tengah-tengah
masyarakat saat itu. Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan 4 ulama abad
pertengahan yang menghabiskan seluruh umur hidupnya untuk membaca dan menulis
kitab-kitab yang pengaruhnya masih bisa kita rasakan sampai saat ini. Berikut 4
ulama tersebut:
1.
Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd
memiliki nama lengkap Abu Al-Walid bin Muhammad bin Rusyd. Ia memiliki banyak
nama panggilan seperti Averroes, Aben Rosd, Ibn Rusid, Avenryz, dan Ben
Resched. Lahir di Cordova pada tahun 1126 M. Ibn Rusyd merupakan keturunan dari
keluarga yang cukup terpandang, kakeknya adalah seorang Qadhi dan
pejabat kerajaan Cordova.
Sejak kecil,
Ibn Rusyd mendapat pendidikan ilmu keislaman seperti fikih, kalam, Al-Quran, dan hadis.
Selain itu ia juga mempelajari ilmu kedokteran, matematika dan filsafat. Ilmu-ilmu
itu dipelajari langsung dari ulama-ulama ternama saat itu, seperti Abu Al-Qasim
bin Basykal, Abu Bakr bin Samhun, Abu Marwan bin Massaroh, dan Abu Ja’far bin
Harun At-Tujali. Untuk guru yang terakhir ini, Ibn Rusyd mempelajari ilmu
filsafat darinya.
Ibnu Rusyd sangat
gemar membaca buku sehingga tampak darinya perkembangan intelektual yang luar
biasa. Hal itu dibuktikan dengan kemampuannya dalam menguasai filsafat
Aristoteles. Pernah suatu waktu ia diperintah oleh Khalifah Muwahhidun yang
bernama Abu Ya’qub untuk mengulas dan memberikan komentar terhadap karya
Aristoteles. Tugas tersebut akhirnya ia selesaikan dengan baik.
Selain filsuf,
Ibnu Rusyd juga berstatus sebagai Qadhi dan dokter pribadi khalifah. Mengutip
dari Fuad Mahbub Siradj dalam buku Ibnu Rusyd Cahaya Islam di Barat, Seumur
hidupnya ia selalu menyibukkan diri dengan membaca. Diriwayatkan dari Ibnu
Al-Abbar bahwa Ibnu Rusyd hanya tidak
belajar ketika menikah dan ketika ayahnya meninggal. Karya-karyanya juga sangat
banyak seperti Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Tahaffut
At-Tahaffut,Fashl al-Maqal fii ma baina al-Hikma wa as-Syariah, Al-Dharuri fil
Mantiq, Al-Dharuri fil al-Nahwi, Al-Dharuri fi Ushul Fiqh au Mukhtashar
Al-Mustashfa, Masa’il fil Manthiq dan masih banyak lagi.
2.
Imam Al-Ghazali
Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Al-Ghazali lahir di kota Thus pada tahun 1058 M. Memulai
pendidikannya saat masih kecil. Beliau belajar Fikih kepada Syaik Ahmad bin
Muhammad Ar-Radzakani. Kemudian berguru kepada Imam Abu Nashr al-Isma’ili di
kota Thus. Setelah itu beliau berguru kepada Imam Abu al-Ma’ali al-Juwaini di
kota Nisapur. Dari guru yang ketiganyalah beliau memeroleh pengetahuan penting
seperti perbandingan mazhab, ilmu retorika, ushul fikih, manthiq, dan filsafat.
Imam Al-Ghazali
adalah pribadi yang kritis dan selalu haus akan ilmu pengetahuan. Jika ilmu itu
ibarat lautan, al-Ghazali akan menyelam hingga ke dasarnya. Dalam pengembaraan
intelektualnya, al-Ghazali pernah menekuni ilmu filsafat. Namun ia menemukan
banyak kerancuannya di dalamnya, hingga lahir lah kitab Tahafut
al-Falasifah. Pada akhirnya, al-Ghazali masuk ke dunia sufistik dan
tenggelam di dalamnya.
Imam Al-Ghazali
meninggalkan banyak karya, dan tercatat ada 457 kitab yang ia karang. Karya-karyanya
memuat banyak cabang ilmu, mulai dari fikih, ushul fikih, ilmu kalam, filsafat,
dan tasawuf. Karyanya begitu mengagumkan, subur, tajam dan kritis. Gurunya
mengatakan bahwa Imam Al-Ghazali adalah Bahr al-Mughdiq (lautan luas nan
deras).
3.
Ibnu Jarir At-Thabari
Ibnu Jarir
Ath-Thabari adalah seorang ulama yang terkenal dengan kitab tafsirnya yaitu Jami’
al-Bayan fi Tafsir Al-Quran atau lebih familiar dengan Tafsir
Ath-Thabari . Beliau lahir di kota
Amul, Afghanistan pada tahun 839 M. Memiliki nama lengkap Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Ath-Thabari. Ayahnya begitu
mencintai ilmu pengetahuan sehingga ia dididik untuk menekuni serta menghafal Al-Quran dan hadis.
Pada usia 7
tahun beliau telah menghafalkan Al-Quran dan pada usia 9 tahun beliau telah
menulis hadis. Seorang sejarawan Islam, Al-Khatib Al-Baghdadi, mengatakan bahwa
selama hidupnya beliau istiqomah menulis sebanyak 40 lembar dalam setiap
harinya. Dalam buku 60 Biografi Ulama Salaf karya Syaikh Ahmad Farid,
Muhammad Az-Zuhailli mengatakan bahwa
selama masa mudanya, Ibnu Jarir menghabiskan waktunya untuk berkelana jauh dari
satu daerah ke daerah lain untuk menuntut ilmu, menyalin, dan membeli kitab.
Beliau begitu
zuhud, sampai usia 30 tahun beliau hidup sederhana dan memiliki sedikit harta.
Baginya, ilmu adalah suatu kelezatan dan kenikmatan yang diberikan Allah
kepadanya. Kecintaannya kepada ilmu pengetahuan membuat Ibnu Jarir tidak sempat
untuk menikah dan lebih memilih membujang hingga akhir hayat.
Beliau banyak
meninggalkan banyak karya, di antaranya adalah Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ayi
Al-Quran, Tarikh Ar-Rusul, Tahdzib al-Atsar, Ikhtilaf al-Ulama al-Amshar, Adab
al-Qadhi, At-Tabshirah fi Ma’alim ad-Din, Syarh as-Sunah, Abad al-Manasik, Adab
al-Nufus, dan Fadhail Abi Bakr wa Umar.
4.
Imam Nawawi
Imam An-Nawawi
sama seperti Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari, lebih memilih membujang seumur
hidupnya. Hari-harinya habis dibuat untuk belajar dan mengarang kitab. Imam
Nawawi lahir pada tahun 631 H/1233 M di
desa Nawa, Iran. Semenjak kecil beliau sangat mencintai ilmu pengetahuan. Hal
ini berkat didikan Alquran dari sang ayah. Pada suatu ketika, Imam Nawawi kecil
dipaksa untuk bermain dengan
teman-temannya. Namun Imam Nawawi menolak dan menangis karena tak ingin
berpisah dengan Al-Quran.
Pada usia 9
tahun, sang ayah menyekolahkannya di Madrasah Ar-Rawahiyah. Dalam waktu 4,5
bulan, Imam Nawawi mampu menghafal 2
kitab karangan al-Imam Abu Ishaq
Ibrahim al-Syairazi al-al-Fairuzabadi yaitu kitab At-Tanbih dan Al-Muhadzdzab.
Setelah itu, beliau mempelajari aneka ragam cabang ilmu, seperti Syarah,
Tashih, Fikih, Hadis, Ushul, Nahwu dan ilmu Balaghah.
Sejak kecil hingga akhir hayatnya, Imam Nawawi tak pernah
berhenti belajar dan menuntut ilmu. Mengutip dari K.H. Hussein Muhammad,
Diriwayatkan dari Abu Al-Hasan bin Athar ia berkata bahwa gurunya pernah
bercerita jika An-Nawawi menghabiskan waktunya sepanjang siang dan malam hanya
untuk membaca, mengkaji, dan menulis. Dan boleh dikatakan beliau tiada hari
tanpa menuntut ilmu, mengajar, dan menyampaikan nasehat kepada masyarakat. Sedikit
makan, minum dan tidur rutin dijalaninya. Wallahu a’lam.
0 Komentar